
Jakarta, Beritasatu.com – Masalah lingkungan jarang dikaitkan dengan diskusi tentang demokrasi, padahal dua topic etrsebut berkaitan erat satu sama lain.
Rezim yang kurang demokratis umumnya berdampak pada rusaknya lingkungan karena lemahnya kontrol masyarakat, demikian mengemuka dalam diskusi yang digelar Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik di Jakarta, Senin (9/11/2020).
Wijayanto, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, menegaskan urgensi isu-isu lingkungan dalam perkembangan demokrasi di Indonesia.
Menurutnya topic tentang demokrasi jarang sekali yang secara langsung mengaitkannya dengan masalah lingkungan.
“Saat bicara perihal demokrasi, maka kita biasa bicara dalam pendekatan institusional: menyoal pemilu, partai, parlemen, dan sebagainya,” ujarnya dalam diskusi tersebut.
Ia mengatakan kerusakan alam telah menjadi sangat buruk dan itu tidak bisa dipisahkan dari cara manusia melihat alam. Mengutip filsuf Fritjof Capra, Wijayanto menyampaikan bahwa manusia perlu menyadari bahwa dia hanyalah tamu dari semesta ini, yang keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada kelestarian sang tuan rumah.
Mohamad Shohibuddin, penulis buku “Ketimpangan Agraria di Indonesia”, menjelaskan bagaimana kondisi ketimpangan agraria di zaman reformasi yang baru berlangsung 20 tahun justru melebihi era orde baru yang terjadi selama 30 tahunan.
“Ironi tersebut didukung pula dengan kondisi ketimpangan agraria , yang mirip sekali dengan ketimpangan aset keuangan,” ujarnya.
“Jika sekitar 56% aset nasional yang berkaitan dengan tanah dikuasai oleh 0,2% populasi, demikian pula 56,87% aset keuangan dikuasai oleh 0,11% pemilik rekening dengan simpanan di atas Rp 2 miliar,” tambah Shohibuddin.
Dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja, menurut Shohibuddin alokasi tanah kepada pemodal besar akan lebih besar ketimbang alokasi kepada rakyat.
Peneliti LIPI Yogi Setya Permana mengaitkan indeks demokrasi dengan frekuensi bencana antropogenik, terutama banjir, di 34 provinsi. Yogi menemukan bahwa keduanya memiliki kaitan yang erat.
“Jawa Tengah menempati posisi pertama secara nasional, baik Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) terendah dan frekuensi terbanyak bencana banjir,” kata Yogi.
Hal tersebut juga terjadi untuk provinsi lain dengan pengecualian tiga provinsi dengan IDI terendah, meliputi: Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Papua.
Yogi menemukan dalam risetnya bahwa provinsi-provinsi yang rendah indeks demokrasinya ternyata juga rendah tingkat kelestarian alamnya. Provinsi dengan demokrasi yang buruk juga rentan dengan banjir dan bencana alam.
Hal ini karena politisi melahirkan kebijakan yang lebih berpihak pada kapital yang merusak lingkungan sebagai akibat dari praktik korupsi politik. Di sini kemunduran demokrasi yang merupakan isu elitis jadi membumi, jelasnya.
“Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh buruknya demokrasi karena korupsi politik membuat kita mengerti bahwa dampak kemunduran demokrasi dirasakan oleh masyarakat yang paling bawah,” kata Yogi.
Keterkaitan antara semakin parahnya kerusakan lingkungan dan fenomena politis kemunduran demokrasi menjadi semakin terang dalam diskusi tersebut. Mulai dari realita terkait dengan ketimpangan agraria yang tidak semakin mengecil, lalu keterkaitan indeks demokrasi dengan frekuensi bencana antropogenik, hingga omnibus law.
Pembicara lain, Swary Utami Dewi dari Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial (TP2P2) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menerangkan perspektif praktis dalam penerapan Perhutanan Sosial dengan demokrasi.
Dalam pemaparannya, ia menunjukkan kaitan yang bersinggungan di antara dua sektor tersebut. Utamanya di bidang keterlibatan masyarakat, kesetaraan gender, kebebasan yang bertanggung jawab, supremasi hukum, pengakuan hak asasi manusia, keadilan, akuntabilitas, penyelesaian konflik, pemilihan pemimpin, dan pengakuan terhadap keragaman.
Sumber:BeritaSatu.com