
Jakarta, CNN Indonesia — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai banyak hal terkait UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang tidak dijelaskan secara utuh dan rinci oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam pernyataannya pada Rabu (7/10).
Walhi menilai Siti tak menjelaskan banyak poin terkait pengelolaan lingkungan hidup, baik dari sisi kebijakan dan hukum lingkungan. Salah satunya tentang beberapa kekuatan izin analisi mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang disebutkan dihapus lewat Omnibus Law UU Ciptaker.
“UU Cipta Kerja mengubah lingkup masyarakat yang dapat berpartisipasi dalam penyusunan Amdal dari: a) masyarakat yang terkena dampak; b) pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c) yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal, menjadi hanya masyarakat yang terdampak langsung,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati melalui keterangan pers, Kamis (8/10).
UU Cipta Kerja, katanya, juga menghapus peran Komisi Penilai Amdal yang sebelumnya diatur pada Pasal 29 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Komisi Penilai Amdal dibentuk menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
Kemudian, pada pasal 30 UU 32/2009, mengatur unsur dari Komisi Penilai Amdal yang terdiri dari instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar di bidang terkait jenis usaha dan dampak, wakil dari masyarakat yang berpotensi terdampak dan organisasi lingkungan hidup.
Komisi Penilai Amdal juga dibantu tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang ditetapkan oleh menteri, gubernur atau bupati/walikota.
Sedangkan melalui UU Cipta Kerja, disebutkan, semua peran tersebut dialihkan ke Lembaga Uji Kelayakan yang berada di tangan pemerintah pusat. Menurut Walhi hal tersebut tidak efektif menjamin perlindungan lingkungan hidup dalam pengelolaannya.
“Proyek yang terdampak pada lingkungan hidup terjadi daerah. Maka beban kerja pemerintah pusat akan jauh melampaui kemampuan laju kerusakan lingkungan hidup,” ujar Nur Hidayati.
Ia menilai tidak adanya unsur masyarakat dalam Lembaga Uji Kelayakan bakal menghilangkan ruang partisipasi. Juga menjauhkan akses informasi bagi masyarakat lokal maupun pelaku usaha daerah dalam menyusun Amdal.
Apalagi ketika pengumuman keputusan kelayakan lingkungan hidup diumumkan melalui sistem elektronik atau cara lain yang ditetapkan pemerintah. Itu, sambungnya, berpotensi meninggalkan hak masyarakat yang tak memiliki akses fasilitas digital.
Sektor Perkebunan
Pada sektor perkebunan, kewajiban memiliki Amdal pun belum ditentukan secara pasti. Aturan terkait Amdal, analisis risiko dan sarana prasarana penanggulangan Karhutla di sektor perkebunan bakal dirinci melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Nur mengatakan PP tidak memiliki kekuatan hukum seperti UU, karena tidak dapat memberikan sanksi pidana jika kewajiban tidak dipenuhi.
Walhi juga meminta penjelasan Menteri LHK terkait penghapusan Pasal 38 yang menyebut izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.
Menurutnya ini turut menghilangkan akses masyarakat terhadap proses peradilan yang seharusnya dijamin prinsip ke-10 deklarasi Rio 1992 tentang lingkungan hidup dan manusia.
Sebelumnya, MenLHK Siti Nurbaya berdalih UU Cipta Kerja bakal membuat mudah pemerintah secara langsung mencabut izin lingkungan dan izin berusaha secara bersamaan. Namun, Nur mengatakan kedudukan pejabat pegawai negeri sipil (PNS) dalam proses penyidikan tidak setinggi penyidik kepolisian.
Potensi kriminalisasi kepada masyarakat menurutnya pun dimungkinkan melalui UU Cipta Kerja. Risiko itu terjadi karena penghapusan syarat memerhatikan kearifan lokal pada pemberian hukuman kepada setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
Sebelumnya Siti menjelaskan UU Cipta Kerja menggabungkan pengurusan Amdal dengan pengurusan izin usaha. Sehingga ketika perusahaan melanggar, pemerintah dapat mencabut keduanya sekaligus.
“Kalau ada masalah di lingkungan, karena dia (amdal) menjadi dasar dalam perizinan berusaha, lalu digugat perizinan perusahaannya karena ada masalah lingkungan, jadi itu bisa langsung kena kepada perizinan berusaha,” kata Siti dalam jumpa pers yang disiarkan akun Youtube Perekonomian RI, Rabu (7/10).
Sejak drafnya masih dibahas di meja DPR, aktivis lingkungan ramai memprotes beleid UU Cipta Kerja. Mereka menilai banyak poin yang memudahkan perizinan berusaha, namun mengorbankan aspek perlindungan lingkungan.
Belakangan ketika aksi penolakan ramai terjadi di seluruh Indonesia, yang beberapa di antaranya berujung bentrok, Baleg DPR menyatakan draf yang tersebar di masyarakat bukanlah yang final karena masih melewati masa perbaikan sebelum dikirim ke Presiden untuk diperundangkan lewat lembar negara.
Sejauh ini, setidaknya ada tiga draf RUU Ciptaker dengan jumlah halaman berbeda yang tersebar di masyarakat. Tiga draf itu berjumlah halaman 1.028, 1.052, dan 905. Omnibus Law UU Ciptaker sendiri disahkan dalam rapat paripurna DPR yang digelar Senin sore (5/10).
sumber: cnnindonesia.com