
JURNAL SOREANG- Anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), drh. Slamet menyoroti dua isu sentral alasan FPKS menolak RUU Cipta Kerja sudah disahkan menjadi Undang-Undang. Ada dua isu besar yang sangat membahayakan bila RUU ini disahkan yakni, terkait kedaulatan pangan dan lingkungan.
“Kami menolak UU Cipta Kerja karena melanggar beberapa hal prinsip seperti terancamnya kelestarian lingkungan dan kedaulatan pangan,” kata Slamet dalam pernyataannya, Selasa, 6 Oktober 2020.
Sesuai bidang kerja komisi di DPR, Slamet mengingatkan kepada mitra kerja pemerintah terutama Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar tidak keluar dari rambu-rambu Undang-Undang Dasar 19945.
“Meskipun pembahasan RUU ini dilakukan di badan legislasi DPR bukan di komisi, namun karena isunya menyangkut pembahasan komisi, sehingga kewajiban kami untuk selalu mengingatkan pemerintah agar tetap pada rambu dan jalan yang memihak pada rakyat dan bangsa,” tutur Slamet.
Legislator asal Sukabumi ini menjabarkan, Isu-isu yang berkaitan dengan ketentuan WTO yang mengakibatkan panja RUU Cipta kerja harus mereformulasi ketentuan 4 Undang-undang yang sudah ada seperti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Hortikultura, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dan UU Pangan.
“Bagi kami kedaulatan pagan adalah hal yang sangat krusial khusunya di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat pandemi covid-19,” ucapnya.
Slamet menegaskan, strategis kedaulatan pangan ini merupakan perlindungan kepentingan dalam negeri untuk menjaga dan memperkuat pangan nasional.
“Untuk itu, sektor pangan ini tidak boleh dilemahkan. Hal teknis yang mesti dijaga adalah impor harus tetap dibatasi jika masih bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri,” ujarnya.
Selain itu pembatasan impor juga akan menyelamatkan petani kecil yang selama ini sangat terpukul akibat kebijakan impor yang ugal-ugalan.
“RUU cipta kerja telah menghapus ketentuan pelarangan orang perorangan atau korporasi untuk mengimpor pangan saat kondisi pangan dalam negeri masih mencukupi. Begitu juga dengan sanksinya yang tak ada sama sekali. Ini akan semakin menunjukan bahwa visi kedaulatan pangan hanya menjadi isapan jempol belaka,” katanya.
Berkaitan dengan isu Lingkungan, penghapusan ketentuan luasan hutan minimum 30% juga menjadi perhatian Slamet di Poksi IV FPKS.
“Memang betul saat ini tidak semua daerah proporsi hutannya ada yang sudah di bawah 30%. Namun itu bukan menjadi alasan untuk menghilangkan batas minimum tersebut karena luasan tersebut bisa dialihkan ke ruang terbuka hijau,” katanya.
Dia menyayangkan, usulan fraksinya berkaitan dengan pasal 67 dan 68 di UU Perkebunan diabaikan pemerintah. “Bahkan pasal 67 yang terlah dihapus ini sebelumnya mewajibkan pelaku usaha membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup,” katanya.***
sumber: pikiranrakyat.com