
PARA ilmuwan mengejar waktu untuk mencari vaksin COVID-19. Sayangnya, banyak yang harus dikorbankan. Hiu bisa jadi korbannya.
Melansir laman VICE, sejumlah perusahaan farmasi diketahui menggunakan minyak dari hati hiu, spesifiknya squalene dalam pengembangan vaksin mereka.
Kenapa squalene? zat ini memainkan peran yang penting dalam pengembangan vaksin karena fungsinya sebagai “adjuvan,” agen farmakologis yang meningkatkan kekuatan obat-obatan tertentu dengan menguatkan respons imun pada penerima.
Squalene juga diketahui marak digunakan untuk pembuatan konsmetik. Stefanie Brendl, pendiri dan direktur eksekutif Shark Allies mengatakan industri squalene telah mengambil 2,7 juta hiu untuk penggunaan kosmetik, dan diprediksi akan meningkat dua kali lipat pada 2024 dan tiga kali lipat pada 2027.
Kabar ini tentunya mengkhawatirkan para konservasionis yang telah bersusah payah berusaha untuk meningkatkan populasi hiu yang saat ini sangat rentan.
“Jika semua orang di dunia menerima satu dosis vaksin, sekitar 250.000 hiu harus dikorbankan. Dua dosis untuk setiap orang di dunia sama dengan setengah juta hiu,” ucap Brendl dalam sebuah pernyataan.
Tidak bermaksud untuk menganggu proses vaksin COVID-19, Brendl hanya khawatir karena masih banyaknya hal yang tidak kita ketahui mengenai pandemi. Seperti seberapa besar, berapa lama pandemi ini akan berlangsung.
“Dengan ini, jika kita tetap memutuskan untuk menggunakan hiu, jumlah hiu yang diambil untuk produk ini bisa sangat tinggi, tahun demi tahun demi tahun,” ucap Brendle.
Mengutip Euronews, dia berharap agar squalene yang sustainable digunakan dalam aplikasi non-kritis di mana alternatifnya sama efektifnya dengan squalene dari hiu. Juga semua pengujian vaksin tambahan di masa depan memberikan pertimbangan yang sama pada sumber dari tanaman.
“Mendapatkan bahan dari hewan liar bukanlah solusi jangka panjang, ini bisa menimbulkan biaya ekologis yang sangat besar, membuat usaha konservasi hiu selama ini menjadi sia-sia,” ucap Brendl di laman Euronews.
Ilmuwan tentunya sangat mengetahui dampak ekologis yang bisa terjadi jika mereka harus menggunakan minyak dari hati hiu. Saat ini ilmuwan tengah berusaha mencari solusi alternatif yang lebih berkelanjutan agar tidak menganggu populasi hiu.
Dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan mulai beralih ke sumber squalene plant-based yang lebih berkelanjutan, termasuk minyak nabati dari dedak padi, bibit gandum, dan zaitun.
Pada 2013, tim peneliti di Polandia mencatat minyak dari biji bayam dapat digunakan sebagai sumber squalene. Lalu, pada 2015, tim peneliti di AS memproduksi squalene secara biosintesis menggunakan bakteri yang direkayasa secara genetik. (lev)
sumber: merahputih.com