
Badak Afrika memang sudah jadi incaran pemburu selama beberapa dekade terakhir. Sejak 1910, populasi badak hitam merosot tajam dari 150 ribu menjadi empat ribu saja.
Di sisi lain, populasi badak putih bertumbuh drastis dari hanya 100 ekor saja pada 1985 menjadi 18 ribu saat ini. Akan tetapi jumlah tersebut kembali menurun karena adanya perburuan liar.
Kasus ini disebabkan karena pertama, banyak negara-negara Asia yang menginginkan cula badak karena dianggap berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit seperti kanker. Padahal belum ada penelitian maupun dasar ilmiah dari argumen tersebut.
Alasan kedua adalah banyaknya pemburu yang melakukan perburuan badak ilegal ini demi keuntungan semata. “Satu kilo dari biaya Cula badak di sekitar 60-65.000 dolar AS,” kata James Mwenda, badak kiper dan ranger di Ol Pejeta Conservancy, Kenya.
Jadi sekilo cula badak bisa seharga Rp896-970 juta rupiah. Berdasarkan data dari Rhino Resource Center, rata-rata berat satu cula badak hitam sekitar 1,5kg, sementara cula badak putih bisa mencapai 2,5kg.
Bisa dibayangkan berapa banyak badak yang akhirnya harus dibunuh karena keegoisan manusia demi mendapatkan uang.
2. Bagaimana pandemi semakin mempeparah perburuan liar
Pada awal April 2020 ketika pandemi baru saja dimulai, Afrika Selatan dan Botswana melaporkan lonjakan insiden perburuan di destinasi wisata populer yang kosong akibat pandemi virus COVID-19.
“Para pemburu jadi lebih mudah (berburu),” ungkap Map Ives, pemandu satwa liar sekaligus mantan pemimpin Konservasi Badak Botswana. Pasalnya lokasi-lokasi wisata tersebut jadi sepi pengunjung sehingga tidak ada yang mengawasi para pemburu liar ini.
Ketika Afrika Selatan memberlakukan lockdown dan larangan perjalanan ketat untuk memerangi penyebaran virus, laporan menunjukkan adanya penurunan perburuan badak. Namun sesaat setelah pembatasan melonggar, para pemburu kembali melanjutkan aksi mereka.
Lebih lanjut, Mwenda menyampaikan bahwa peluang kerja yang semakin sedikit akibat pandemi meningkatkan daya tarik berburu cula badak secara ilegal.
Tidak hanya itu, penyebaran COVID-19 juga menghambat sumber penghasilan untuk konservasi. Absennya pariwisata jadi masalah besar yang dirasakan Afrika Selatan. Sebelum pandemi, sumbangan dan dana wisata bisa dipergunakan untuk menjaga dan menjalankan konservasi.
“Ketika pendapatan dan pemasukan benar-benar terputus akibat COVID, mempertahankan pekerjaan jadi sebuah tantangan sulit,” kata Dr. Andre Uys selaku Manajer Umum Grup Marataba, rumah bagi populasi badak terbesar kedua di taman nasional.
“Kami membutuhkan dana agar bisa mendukung tim kami yang bekerja 24/7 di lapangan untuk menjaga para hewan,” tambahnya.
3. Antisipasi dan solusi yang dilakukan
Tidak tinggal diam, dalam menghadapi masalah tersebut pemerintah Rwanda melanjutkan komitmen mereka terhadap konservasi satwa liar dengan mengalokasikan dana agar para ranger tetap bekerja.
Leonidas Mpumuje, seorang ranger yang mengepalai program pemantauan badak di Taman Nasional Akagera Rwanda menyebut bahwa pihak taman tetap memberikan gaji sehingga dia dan penjaga lainnya tetap bisa meningkatkan upaya dalam melindungi hewan.
Meski demikian, mereka tetap merasakan kekurangan dana untuk membayar pekerja, peralatan, serta perlengkapan penting lainnya dalam mengawasi badak.
Mpumuje hanya berharap pandemi bisa cepat mereda sehingga wisatawan yang datang dapat memulihkan konservasi. “Kami tidak membutuhkan hewan lain punah,” tegasnya.
Mwenda juga menambahkan bahwa kita semua dapat membantu kelestarian konservasi badak ini. Entah dengan menjadi donatur atau memesan perjalanan safari.
Upaya itu dapat membantu organisasi-organisasi ini tetap berdiri dan melanjutkan pekerjaan mereka untuk menjaga agar badak tetap hidup.
Pasalnya setiap dari kita punya tanggung jawab besar untuk memastikan badak mempesona itu tetap ada sampai generasi mendatang. (sam)
sumber: merahputih.com