
Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia disebut membutuhkan waktu jauh lebih lama dibandingkan sejumlah negara lainnya di dunia untuk menerapkan transisi energi atau beralih kepada energi baru dan terbarukan dari energi fosil yang masih mendominasi saat ini.
Hal itu disebutkan Menteri Pertambangan dan Energi ke-9 RI periode 1978-1988 Subroto saat diwawancarai CNBC Indonesia pada Senin (28/09/2020).
Menurut Subroto, situasi di Indonesia berbeda dibandingkan kondisi di negara lainnya, sehingga untuk menerapkan transisi energi tidak perlu mengikuti gambaran tren global.
Apalagi, lanjutnya, bauran energi baru dan terbarukan Indonesia saat ini masih sekitar 9,15% dan penggunaan migas dan batu bara masih mendominasi. Dengan kondisi ini, transisi energi di Indonesia kemungkinan baru terjadi setelah tahun 2030 atau 2040-an. Hal ini berbeda dari tren global yang mulai menganggap peranan minyak dan fosil selesai pada 2030.
“Terkait transisi energi di Indonesia, kita harus tahu situasinya, tidak perlu ikuti gambaran tren global. Secara global, peranan minyak dianggap selesai pada 2030 dan harus masuk ke renewable, tapi Indonesia mungkin bisa gunakan migas dan batu bara lebih lama dari 2030. Renewable baru berperan di Indonesia setelah 2030-2040, terutama peranan energi angin, surya dan geothermal,” jelasnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (28/09/2020).
Lebih lanjut dia mengatakan potensi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia sangat banyak, mulai dari angin, surya, dan juga panas bumi. Semua potensi ini menurutnya harus direalisasikan. Namun, dia mengakui, untuk merealisasikan proyek EBT ini tidak lah mudah, perlu dilakukan identifikasi jenis EBT apa saja yang tersedia dan masalah apa yang dihadapi setiap jenis EBT ini.
“Jadi kita perlu memikirkan pentahapan dalam transisi energi ini. Misal tahap pertama kita masih bisa gunakan sumber daya minyak dan gas. Kalau secara global peranan fosil di dalam penyediaan energi secara global itu tersedia hanya sampai 2030, kalau Indonesia barangkali waktunya lebih lama lagi,” paparnya.
Investasi di sektor EBT hari ini juga dianggap masih kurang menarik karena kalah saing dengan sumber energi fosil yang masih jauh lebih murah. Oleh karena itu, menurutnya juga diperlukan peranan dari non pemerintah untuk turut serta memikirkan secara bersama-sama penyediaan energi di masa mendatang.
“Kita harus memikirkan bersama dan kerjakan bersama, termasuk bagaimana caranya mendatangkan investasi. Perlu disadari, investasi makin lama makin sulit karena kompetisi dengan negara lain,” jelasnya.
Menurutnya kita perlu melihat negara-negara lain yang lebih maju dalam menggaet investor seperti Brazil, Vietnam, dan Mexico. Hal yang terpenting dalam investasi adalah kepercayaan. Dalam hal ini, Indonesia masih kurang dipercayai investor terutama karena kebijakan yang sering berubah.
“Untuk menarik investasi, yang penting adalah trust (kepercayaan) dari pada investor kepada negara penerima. Nah kita masih bayak kekurangan. Terus berubah-ubahnya peraturan, gonta-ganti peraturan dalam waktu pendek,” tuturnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) F.X. Sutijastoto mengatakan pemerintah akan melakukan sejumlah upaya agar target bauran EBT 23% pada 2025 seperti tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dapat tercapai.
Salah satunya yaitu berupaya menurunkan biaya energi baru terbarukan sehingga tarif EBT nantinya bisa masuk secara skala keekonomian yang wajar. Untuk mengejar itu, kebijakan harga dari Menteri ESDM tidak lagi dalam Peraturan Menteri (Permen), namun akan diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres).
“Di dalam Perpres (tarif EBT) kita upayakan harga keekonomian yang wajar, namun terjangkau dengan insentif. Kalau untuk panas bumi, kami berikan insentif dengan cara pemerintah ikut melakukan pemboran atau eksplorasi,” ungkapnya dalam wawancara khusus dengan CNBC TV Indonesia, Senin (14/09/2020).
sumber: cnbcindonesia.com