Pengembangan EBT, Greenpeace Beri RI Nilai Terendah di ASEAN

Greenpeace memberi nilai F ke Indonesia terkait pengembangan energi baru dan terbarukan. Nilai tersebut merupakan yang terburuk di ASEAN.

Jakarta, CNN Indonesia — Greenpeace memberikan skor F dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Skor tersebut mereka berikan dalam laporan scorecard edisi September 2020.
Skor tersebut berarti Indonesia mendapatkan nilai terendah di wilayah Asia Tenggara.

Penilaian diberikan karena RI mereka sebut masih memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber energi fosil, terutama batu bara.

Meski sejatinya laporan tak menjadikan pemerintah sebagai faktor pengaruh, namun masalah keuangan perusahaan listrik negara atau PT PLN (Persero) dianggap menjadi salah satu faktor penghadang progres transisi EBT di Indonesia.

“Masalah keuangan yang akut dari perusahaan listrik milik negara mendemonstrasikan korelasi antara korupsi, kepentingan penggunaan bahan bakar fosil, dan hambatan kelembagaan untuk pengembangan tenaga surya dan tenaga angin,” tulis Greenpeace seperti dikutip dari laporan, Senin (28/9).

Lebih lanjut, Greenpeace mengatakan bahwa elit batu bara memblokade transisi energi dari fosil menuju EBT. Hal ini menyebabkan kegagalan transisi yang sistematis.

Selan itu, kapasitas atau produksi batu bara yang berlebih dinilai menghambat pengembangan energi angin dan matahari.

Apalagi, lewat UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang disahkan pada Mei lalu memberikan jaminan perpanjangan kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada pemegang Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B).

“(Sehingga), tak ada transisi energi yang kelihatan ” kata Green Peace.

Lebih lanjut, Greenpeace juga mengkritik estimasi bauran EBT pemerintah yang selalu berlebih namun tak pernah ditepati. Indonesia bersama berbagai negara ASEAN lainnya pada 2015 menargetkan penggunaan bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025 mendatang.

Namun, tampaknya PLN telah menyerah memenuhi janji. Diungkapkan oleh Direktur Mega Proyek PLN Ikhsan Asaad, pembangunan pembangkit listrik EBT membutuhkan modal besar.

Sementara itu di sisi lain, keuangan PLN seret karena perlambatan permintaan listrik.

Ikhsan menyebut biaya pokok produksi EBT relatif lebih mahal dibandingkan energi fosil. Ini dapat menekan arus kas PLN jika pemerintah tidak memberikan bantuan dalam bentuk insentif dan/atau kompensasi.

PLN sendiri sebenarnya pesimistis target bauran EBT dapat tercapai pada 2023. Untuk itu, dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2020-2029, kata Ikhsan, PLN meminta target tersebut diundur hingga tahun 2029.

“PLN yang memonopoli pasar kelistrikan di Indonesia terus menumpuk utang dan bergantung pada bantuan negara,” lanjut Green Peace.

Dari berbagai temuan tersebut, Green Peace mengestimasikan transisi EBT terbaik yang dapat dicapai pemerintah yaitu 26 persen penggunaan EBT pada 2030 mendatang.

sumber: cnnindonesia.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s