
Jakarta, CNN Indonesia — Biaya rata-rata produksi baterai sel lithium-ion buat kendaraan listrik diproyeksi akan turun sampai di bawah US$100 (nyaris Rp1,5 juta, asumsi kurs Rp14.923) per kWh dalam tiga tahun ke depan menurut analisis dari IHS Markit.
Analisis juga menjelaskan pada 2030 harga rata-rata baterai itu diperkirakan akan terus menyusut hingga US$73 atau sekitar Rp1 juta.
Sejak 2012 hingga tahun ini harga baterai lithium-ion telah jatuh 82 persen. Pada 2023 penurunannya akan mencapai 86 persen.
Baterai yang semakin murah menjadi faktor kunci meningkatkan daya saing dan penggunaannya lebih luas lagi untuk transportasi tanpa emisi.
IHS Markit memperkirakan penyebab utama biaya produksi terus turun lantaran pabrik sudah bisa lebih efisien, kapasitas lebih besar, dan peningkatan skala ekonomi. Selain itu pengembangan menjadikan baterai mampu menyimpan energi lebih besar juga punya peranan penting.
Ada tiga jenis baterai sel lithium-ion, yaitu Nickel Manganese Cobalt (NMC), Nickel Cobalt Aluminium (NCA), dan Iron Phosphate (LFP). Sejauh ini hanya LFP yang sudah di bawah US$100 per kWh, semua jenis diharapkan bisa mengikuti pada 2024.
LFP dikatakan tetap menjadi opsi biaya terendah selama sepuluh tahun ke depan. Namun NMC dan NCA akan terus menguasai sebagian besar sektor otomotif dan transportasi karena kepadatan energinya lebih tinggi.
“Pada akhirnya, dua pasar pertumbuhan utama, transportasi dan penyimpanan jaringan listrik bergantung pada biaya yang lebih rendah untuk membuat baterai lebih kompetitif dengan mesin pembakaran internal dan pembangkit listrik bahan bakar fosil,” kata Youmin Rong, analis senior, teknologi energi bersih IHS Markit.
sumber: cnnindonesia.com